Falling into Places

Judul : Falling into Places
Penulis : Amy Zhang 
Penerbit : POP
Tebal Buku : 327 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2016
(versi bahasa asli, terbit perdana September 2014)
ISBN : 9786024241995
Rating : 5 dari 5




Blurb:

Di hari ketika Liz Emerson mencoba bunuh diri, Hukum Gerak Newton dibahas di kelas Fisika. Kelembaman, gaya, massa, gravitasi, kecepatan, percepatan... semua itu belum masuk benar ke kepalanya, tetapi seusai sekolah Liz mempraktikkan hukum-hukum itu dengan melajukan mobilnya ke luar jalan raya.

Kini Liz terbaring sekarat di rumah sakit, dan dia bisa meninggal kapan saja. Seperti halnya Liz tidak memahami Hukum Gerak Newton, orang-orang juga tidak memahami kenapa kejadian nahas ini menimpa Liz Emerson, gadis paling populer dan paling tangguh di Meridian. Tetapi aku paham. Aku bersamanya sewaktu mobil menabrak pagar pembatas jalan dan berakhir di dasar bukit. Aku paham kenapa kami jatuh bebas di tempat itu di minggu ketiga bulan Januari. Aku tahu alasan Liz mengakhiri hidupnya. Aku paham kesedihan yang dialami Liz, alangkah kesepiannya dia dan betapa hancur hatinya.

Setiap aksi menghasilkan reaksi. Namun Liz Emerson tidak perlu lenyap dari dunia ini, bukan? 

***

Amy Zhang benar-benar menerapkan konsep Hukum III Newton saat menuliskan buku ini; hukum sebab-akibat. "Setiap aksi menghasilkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah."

Sewaktu membaca paragraf awal buku ini, saya sudah disuguhkan dengan pembukaan spektakuler seperti ini:

Di hari ketika Liz Emerson mencoba bunuh diri, Hukum Gerak Newton dibahas di kelas Fisika. Kemudian, seusai sekolah, Liz mempraktikkan hukum-hukum itu dengan melajukan Mercedes-nya ke luar jalan raya.

Setelahnya, upaya evakuasi dan penyelamatan Liz disampaikan dengan teknik show yang memikat, meninggalkan kesan nyata beserta kepanikan, ketakutan, kecemasan, yang mengikutinya. Bagaimana nasib Liz? Apakah upayanya mengakhiri hidup bakal berhasil? Atau justru dia masih akan hidup lebih lama lagi? Yang jelas, sebuah panggilan telepon ke kantor polisi berhasil mencegah keadaan menjadi semakin fatal. Meskipun, berada di antara hidup dan mati dengan keyakinan untuk bertahan yang setipis kulit ari, rasanya menyedihkan.

Alur cerita bergerak maju dan mundur dengan penceritaan yang menarik, menguak sisi kehidupan Liz seolah seperti mengupas bawang. Pembaca dibawa mengenal Liz Emerson, seorang pelajar populer di Meridian, sosok yang dinilai sempurna oleh kawan-kawannya. Pembangkang, penguasa, dan segala hal sematan lainnya yang membuat Liz dan kedua temannya, Julia, dan Kennie, menjadi dikenal seantero sekolah. Apa yang membuat Liz memutuskan bunuh diri? Kesepian. Bagaimana Liz bisa merasa kesepian jika dia dikelilingi oleh sahabat yang menyayanginya, dan Liz sering berpindah dari satu keramaian ke keramaian lain? Satu pesta ke pesta lainnya? Mengapa Liz bisa memutuskan mengakhiri hidupnya hanya karena perkara se-"cemen" kesepian? Barangkali itulah yang ingin disampaikan penulis kepada karakternya. Bahwa pembaca seolah dibawa untuk "menghakimi" karakter Liz yang seperti itu. 

Namun, ketika pembaca dibawa untuk mengenal Liz lebih dalam, tentang peristiwa-peristiwa yang mengguncang kehidupannya, Liz yang semena-mena berubah menjadi Liz yang lain, sosok yang selama ini ditutupinya, yang tidak ingin diketahui orang lain. Hukum sebab-akibat membentuk Liz menjadi dirinya sekarang. Cerita tentang mendiang ayahnya, seorang teman masa kecil korban perisakan yang turut membentuk karakternya, apa yang terjadi dengan orang-orang dekatnya, pada kedua sahabatnya, dan banyak kisah-kisah lainnya. Seorang yang terlihat cerita, bahagia, tapi jiwanya kosong. Dia kesepian, dan malangnya, pembaca dapat turut merasakan bagaimana Liz menjalani kehidupannya dalam sepi. Bahkan dalam setiap keputusan-keputusan yang dipikirkannya, ada gejolak yang bisa dirasakan pembaca saat menyelami kisah Liz.

Sampai pada akhirnya, Liz merasa bahwa dirinya tidak pantas berada di atas bumi dengan milyaran manusia baik lainnya. Semua perilakunya seolah menggema di dalam isi kepalanya. Segala yang terjadi atas campur tangannya muncul dalam kesepian-kesepian yang mencekamnya itu. 

Liz tidak menyadari bahwa reaksi yang sama besar dan berlawanan arah adalah ini: setiap perbuatan kejam, jahat, dan dengki yang pernah Liz lakukan terpental kembali kepadanya.

Padahal, hidup tidak sesederhana itu. Bahwa banyak hal yang terjadi, bahkan lebih rumit ketimbang penjelasan tentang hubungan sebab-akibat yang muncul di sana.

Saya acungkan jempol dengan kepiawaian penulis dalam menceritakan kisahnya. Saya bahkan enggan membaca buku ini sepintas lalu. Karena setiap paragrafnya benar-benar berisi, hingga sayang untuk melewatkannya begitu saja. Cara penulisannya mengajarkan saya bagaimana mengolah cerita dengan teknik show yang baik. Semuanya bermakna. Apalagi, menjelaskan sebuah cerita remaja (yang bahkan nggak suka-suka amat sama Fisika) dengan bumbu teori Fisika tentang Hukum Gerak Newton. Penulis bahkan membagi bukunya (secara tidak langsung) dalam tiga tahapan. Yang pertama, tentang Hukum I Newton:

Benda yang diam akan tetap diam, dan benda yang bergerak akan tetap bergerak dengan kecepatan konstan, kecuali ada gaya luar yang bekerja padanya.

Ini merujuk pada keadaan konstan dalam hidup Liz, yang berkaitan dengan hukum kelembaman, atau keadaan menolak perubahan. Lalu beranjak pada Hukum II Newton:

Gaya sama dengan laju perubahan momentum dibagi perubahan waktu. Untuk massa tetap, gaya sama dengan massa dikali percepatan.

Menjelaskan keadaan Liz, di mana dia berupaya untuk melakukan "sesuatu" sebagai upaya menghilangkan dirinya, dan kejahatan atas tangannya. Sayangnya Liz melakukan sesuatu yang salah. Dan yang terakhir, Hukum III Newton:

Setiap aksi menghasilkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah.

Bahwa secara kasatmata, sesuatu erat kaitannya dengan hukum sebab-akibat. Meskipun begitu, Mr. Eliezer memberikan sebuah kalimat penutup dalam sesi mengajarnya: 

"Hidup ini lebih dari sekadar sebab dan akibat."

Liz perlu tahu itu.

Terlepas dari erat kaitannya novel ini dengan Fisika, sesuatu yang menjalin love hate relationship dengan saya, buku ini SANGAT bagus! Disajikan dengan sudut pandang tak biasa (yang mengingatkanku pada film Inside Out), alur maju-mundur yang apik dan mengesankan, serta berhasil membawa pembaca merasa dekat dengan perasaan para tokohnya. (Apalagi ada fisika-fisikanya kan ya, jadi makin jatuh hati dengan buku ini! Dan yah, kapan lagi saya bikin ulasan sambil nyerempet-nyerempet bahas Hukum Newton kan yaaa XD) Bintang lima untuk bukunya! Kalau perlu, pinjam bintang tetangga buat nambahin lagi bintangnya =))

Saya jadi kepingin balik ke masa SMA kalau guru Fisikanya seperti Mr. Eliezer ini :D Dan juga kepingin dengar cerita tentang Liam lebih banyak lagi! (Siapa itu Liam? Baca saja buku ini untuk menemukan jawabannya ;) 

Orbit Tiga Mimpi

Judul : Orbit Tiga Mimpi
Penulis : Miranda Malonka 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 380 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2017
ISBN : 9786020332048
Rating : 4 dari 5




Blurb:

Alejandro, terobsesi dengan benda-benda angkasa dan bertekad menang olimpiade astronomi. Tapi, bagaimana dia bisa menang kalau pelajaran matematika justru membuatnya merana? Asterion, vokalis band yang selalu cerah ceria dan tidak pernah menangis. Tak ada yang tahu dia menyembunyikan banyak rahasia di balik suara merdunya. Angkara, senang menghabiskan waktu untuk merenung dan menulis puisi tentang bintang-bintang. Tapi, seluruh dunia ingin dia mengubah gaya menulisnya. Ketiga orang yang sangat berbeda ini dipersatukan oleh kelompok belajar yang dipilih sesuai urutan absensi kelas. Meski awalnya canggung, ketiganya menemukan diri mereka mengorbit satu sama lain. Namun, ketika perasaan saling suka melesat bagai meteor, ditambah keresahan atas identitas diri, akankah orbit mereka terus berputar atau malah hancur lebur?

***

Saya membaca novel karya Miranda Malonka sebelumnya, yaitu Sylvia's Letters, dan saya menyukainya. Gaya penceritaan di Sylvia's Letters yang tidak biasa dan jalan cerita memukau, membuat saya mengatakan bahwa ingin membaca karya lain penulis, yang penyampaian ceritanya tidak melalui media surat. Orbit Tiga Mimpi menjawab rasa penasaran saya, apakah saya bakal menikmati karya Miranda Malonka jika disajikan dengan gaya penceritaan yang normal. Hasilnya, saya suka dan puas dengan buku ini.

Orbit Tiga Mimpi menyajikan premis yang mirip dengan novel yang pernah saya baca sebelumnya, berjudul Starlight. Tanpa bermaksud membandingkan karena memang setiap buku memiliki kisahnya masing-masing, tapi kedua novel remaja ini mempunyai kisah yang sama. Tentang kesukaan dengan dunia astronomi, dan tokohnya disatukan oleh tugas kelompok. Alejandro si cowok satu-satunya dalam kelompok itu, berbagi kisah dengan Angkara alias Kara, yang mulanya dikira seorang anak laki-laki tapi ternyata perempuan, dan teman duduknya. Mereka juga berteman dengan Asterion, seorang anak perempuan lainnya, yang dari namanya saja sudah memikat Ale. 

Ketiganya memiliki mimpi. Ale dengan kecintaannya pada dunia astronomi (tapi tidak pandai matematika) dan biologi, Angkara yang memiliki kesukaan dengan puisi bertemakan alam semesta, dan Asterion yang pandai bernyanyi. Mereka mengorbit bersama, saling menggapai mimpi. Hanya saja, ketika perasaan bercampur-baur dengan persahabatan, tidak selamanya planet mereka berputar dan mengorbit.

***

"Manusia memang aneh banget. Mereka membuat rencana-rencana seolah hidup ini akan berlangsung selamanya." ---halaman 127


Saya menemukan sesuatu yang berbeda dengan novel ini. Disajikan oleh tiga sudut pandang yang berbeda, menggunakan orang pertama, membuat kisahnya dalam. Kita diajak mengintip isi kepala tiga tokohnya yang berbeda, tapi mempunyai benang merah yang sama. Ketiga karakternya menarik, dan tidak biasa. Ale yang senang mengamati dunia makroskopis dan mikroskopis, lalu Kara yang suka menulis tapi dihadapkan realita bahwa dia tidak bisa selalu menuliskan apa yang diinginkannya saja. Aster dengan segala permasalahan berkaitan dengan keluarga dan hal-hal aneh dalam hidupnya. Mereka kian dekat, untuk membuktikan pada siapa seharusnya cerita cinta ini tertambat. Lalu tentang jati diri, pencarian makna hidup, dan masa depan. Tidak selamanya tiga planet akan mengorbit bersama.

Saya pernah membaca tulisan Miranda Malonka tentang dia yang lebih senang menuliskan setting tempat secara abstrak. Seperti saat menuliskan Sylvia's Letters dia tidak menyebutkan settingnya, meskipun nuansa kota Jakarta kental di sana. Ternyata, pola serupa diterapkannya di sini. Selama membacanya, saya jadi menerka-nerka, kota manakah yang menjadi latar cerita ini. WITA, dekat pantai, langitnya bisa dengan mudah melihat bintang. Terlebih, ibu Ale yang berdarah Spanyol. Apakah setting-nya di Bali? Saya menebaknya demikian. Membuat cerita berlatar samar begini, sebenarnya membuat pembaca mengimajinasikan sendiri di mana atau bagaimana suasana yang dibangun. Bagi saya tidak masalah, justru bagian menebak-nebaknya itu yang seru.

Secara keseluruhan, kisah ini bagus. Apalagi perlakuan Ale yang memberikan hadiah tak terduga oleh siapa pun itu, benar-benar mengejutkan dan di luar kotak. Juga tentang pemberian seseorang yang ternyata dipakai untuk melihat sesuatu dengan orang yang bukan dia (ini kalau saya deskripsikan secara detail tentu akan spoiler sekali), bikin nyesek. Duh, jadi ingat bagaimana pertama kali merasakan naksir seseorang, melakukan apa pun demi menyenangkan orang yang kita sukai, lalu patah hati karenanya.

"Dengan beitu kita bisa belajar bahwa dunia ini nggak berhenti berputar untuk menontonmu menangis dan meratap. Juga, kita nggak akan bisa memaksa dunia menghapus air matamu dan mengasihanimu." ---halaman 140

The Storied Life of A.J. Fikry

Judul : The Storied Life of A.J. Fikry --- Kisah Hidup A.J. Fikry
Penulis : Gabrielle Zevin 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 280 Halaman
Cetakan Pertama, Oktober 2017
(versi bahasa asli: Desember 2014)
ISBN : 9786020375916
Rating : 4 dari 5





Blurb:

"Manusia tidak bisa hidup sendiri; setiap buku membuka jendela dunia." 

Hidup A.J. Fikry jauh dari yang diharapkannya. Istrinya meninggal, penjualan di toko bukunya merosot tajam, dan hartanya yang paling berharga, koleksi puisi Poe yang langka, baru saja hilang dicuri. Pelan tapi pasti, A.J. menjauhkan diri dari semua orang di Pulau Alice. Bahkan ia tak lagi menemukan kegembiraan dari buku-buku di tokonya. Ia malah menganggap buku-buku itu sekadar penanda bahwa dunia telah berubah begitu cepat. Tetapi kemudian sebuah paket misterius muncul di tokonya. Paket itu kecil, meski bobotnya lumayan. Kemunculannya memberi A.J. kesempatan untuk membuat hidupnya lebih baik dan melihat semua hal dengan perspektif berbeda. Tak butuh waktu lama bagi orang-orang di sekitar A.J. untuk menyadari perubahan dalam dirinya. Ia tak lagi pahit, buku kembali menjadi dunianya, dan semua hal berubah menjadi sesuatu yang tak ia duga akan terjadi dalam hidupnya.

***

Kita membaca untuk mengetahui kita tidak sendirian. Kita membaca karena kita sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian. Kita tidak sendirian. ---halaman 263

A.J. Fikry adalah pria paruh baya pemilik satu-satunya toko buku di pulau tempatnya tinggal. Sejak peristiwa meninggalnya sang istri setelah mengantarkan penulis selepas acara jumpa penulis di toko bukunya. Setelah itu, kehidupannya berantakan. A.J. menjadi pria sinis yang pernah berlaku tidak sopan kepada seorang wanita dari penerbitan yang membawakan katalog buku milik perusahaannya. A.J. suka meminum minuman keras yang suatu hari akan disesalinya. Ia kehilangan buku langka milik Edgar Allan Poe saat sedang mabuk. Buku itu diperkirakan harganya lebih mahal dari seluruh buku yang dijualnya.

Ada yang datang, ada yang pergi. Setelah peristiwa kehilangan yang menggegerkan tersebut, A.J. kedatangan sesuatu yang misterius di toko bukunya; seorang bayi. Keesokan harinya, kepolisian menemukan jasad seorang wanita muda di mercusuar yang disinyalir adalah ibu dari bayi tersebut. Ia bernama Maya. Dan kehadiran Maya dalam kehidupan A.J., menjadikan hidupnya lebih berwarna, dan lebih baik lagi. Dengan adanya Maya, A.J. yang semula pesimistis dan seorang yang membosankan, menjadi lebih terbuka. A.J. jadi akrab dengan seorang opsir polisi di pulau itu, yang kemudian menjadi teman baiknya. Dan pada akhirnya terhubung dengan wanita yang mengisi lembaran kisah percintaannya.

Yang menarik dari kisah ini, bukan hanya suguhan plotnya yang tidak biasa dan mengejutkan. Namun, mengikuti keseharian hidup A.J. sebagai seorang pencinta buku, dengan toko buku yang dikelolanya, justru menambah kesan terhadap novel ini. Tentang mengapa pada akhirnya ia memutuskan menjadi pengelola toko buku kecil, lalu pandangannya terhadap buku-buku (yang menjadi penanda awal babak dalam buku ini), dan masih banyak lagi. Lalu, ada pula yang menarik, ketika A.J. menilai seseorang berdasarkan buku:

"Jika Jenny itu buku, ia adalah buku paperback yang baru saja dikeluarkan dari kardus--tidak ada halaman yang dilipat sebagai penanda, tidak ada bekas air di halamannya, tidak ada garis tanda pernah dibuka di punggung buku. A.J. lebih menyukai pekerja sosial yang tampak berpengalaman. Ia membayangkan sinopsis di belakang kisah Jenny: saat Jenny yang penuh semangat dari Fairfield, Connecticut, menerima pekerjaan sebagai pekerja sosial di kota besar, dia tidak tahu dunia seperti apa yang dimasukinya" ---halaman 69

Atau, kalimat yang diberikan A.J. saat melamar wanita yang dicintainya:

"Aku bisa menjanjikanmu buku, percakapan, dan hatiku seutuhnya." ---halaman 165

Buku ini menjadi menarik, mungkin karena sebagai pembaca yang mempunyai kesukaan yang sama dengan para tokohnya, saya jadi merasa konek dan sepakat dengan beberapa pernyataan sang tokoh dalam kisah ini. Contohnya, misalnya, saat Amelia Loman berkencan dengan seorang pria, dan ia menanyakan buku apa yang memengaruhi kehidupannya. Pria itu menjawab, "Prinsip-Prinsip Dasar Akuntansi bagian II." Dari sana Amelia bisa menyimpulkan bahwa pria itu tidak menyukai sastra. Bagaimana ia bisa hidup dengan seseorang yang tidak memiliki kesamaan dengannya? Mungkin ini kedengarannya skeptis, tapi saya masih bisa menemukan korelasinya dengan Amelia. Bayangan tentang menghabiskn waktu dengan seseorang yang tak memiliki pandangan yang sama dengan kita itu cukup menggelitik dan mengusik. Lalu, bagaimana jika kita disodorkan pada dua pilihan, yang pertama adalah orang yang sama sekali berbeda, dan memiliki kegemaran yang tidak sama. Lalu, muncul orang kedua yang punya minat sama dan visi yang sama dengan kita, meskipun ia tak sempurna dan bahkan jauh dari kata sempurna. Saya bisa memahami kegalauan si tokoh yang pada akhirnya bisa mengerti jalan yang ia pilih.

Selain kisahnya yang indah, sangat berkorelasi dengan kehidupan para pencinta buku, buku ini juga teman belajar menulis yang baik. Sebagai guru, penulis tidak hanya memberitahu bagaimana cara menulis, tapi juga langsung mempraktikkannya dengan menyuguhkan sebuah kisah yang dapat diambil pelajarannya, baik secara harfiah, maupun pelajaran moral dalam isi ceritanya. Buku ini sangat direkomendasikan karena segala-galanya indah dan menarik.

Menyenangkan sekali membaca kisah yang mana para tokohnya dipersatukan oleh buku. Bahkan, menunjukkan perasaan pada seseorang pun, dengan kalimat yang "buku sekali".

"Sudah bertahun-tahun aku melihatmu di rak. Aku sudah membaca sinopsis dan kutipannya di bagian belakang." ---halaman 291




Recent Quotes

"Suatu ketika, kehidupanmu lebih berkisar soal warisanmu kepada anak-anakmu, dibanding apa pun." ~ Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto

Setting

Indonesia (40) Amerika (17) Inggris (11) Jepang (5) Perancis (4) Norwegia (3) Spanyol (3) Belanda (2) Irlandia (2) Korea (2) Saudi Arabia (2) Yunani (2) Australia (1) Fiji (1) Italia (1) Mesir (1) Persia (1) Swedia (1) Switzerland (1) Uruguay (1) Yugoslavia (1)

Authors

Jostein Gaarder (7) Paulo Coelho (6) Mitch Albom (4) Sabrina Jeffries (4) Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (4) Colleen Hoover (3) Ilana Tan (3) John Green (3) Prisca Primasari (3) Annisa Ihsani (2) Cecelia Ahern (2) John Grisham (2) Miranda Malonka (2) Seplia (2) Sibel Eraslan (2) Suarcani (2) Adara Kirana (1) Adityayoga & Zinnia (1) Ainun Nufus (1) Aiu Ahra (1) Akiyoshi Rikako (1) Alice Clayton (1) Alicia Lidwina (1) Anggun Prameswari (1) Anna Anderson (1) Asri Tahir (1) Astrid Zeng (1) Ayu Utami (1) Charles Dickens (1) Christina Tirta (1) David Levithan (1) Deasylawati (1) Dee Lestari (1) Desi Puspitasari (1) Dewi Kharisma Michellia (1) Dy Lunaly (1) Dya Ragil (1) Elvira Natali (1) Emily Bronte (1) Emma Grace (1) Erlin Natawiria (1) Esi Lahur (1) Fakhrisina Amalia (1) Ferdiriva Hamzah (1) Frances Hodgson Burnett (1) Fredrick Backman (1) G.R.R. Marten (1) Gina Gabrielle (1) Haqi Achmad (1) Harper Lee (1) Hendri F Isnaeni (1) Ifa Avianty (1) Ika Natassa (1) Ika Noorharini (1) Ika Vihara (1) Indah Hanaco (1) JK Rowling (1) James Dashner (1) John Steinbeck (1) Jonathan Stroud (1) Kang Abik (1) Katherine Rundell (1) Korrie Layun Rampan (1) Kristi Jo (1) Kyung Sook Shin (1) Lala Bohang (1) Laura Lee Guhrke (1) Lauren Myracle (1) Maggie Tiojakin (1) Marfuah Panji Astuti (1) Mario F Lawi (1) Mark Twain (1) Maureen Johnson (1) Mayang Aeni (1) Najib Mahfudz (1) Nicholas Sparks (1) Novellina (1) Okky Madasari (1) Orizuka (1) Peer Holm Jørgensen (1) Pelangi Tri Saki (1) Primadonna Angela (1) Puthut EA (1) Rachel Cohn (1) Rainbow Rowell (1) Ratih Kumala (1) Rio Haminoto. Gramata (1) Rio Johan (1) Shinta Yanirma (1) Silvarani (1) Sisimaya (1) Sue Monk Kidd (1) Sylvee Astri (1) Tasaro GK (1) Thomas Meehan (1) Tia Widiana (1) Trini (1) Vira Safitri (1) Voltaire (1) Winna Efendi (1) Yuni Tisna (1)